Seusia
semuda tiga tahun, aku sudah bersama alam. Di sana, di bawah pokok pulai tua,
di tengah bendang, bersisikan pepohon renek tak terjaga. Seingat aku, di situ
tempat tidur, buaian adikku, yang masih kecil, tak kenal dunia. Di tempat itu,
bermulanya hidupan kita. Saat itu, musim hujan mula undur, masa untuk permulaan
rezeki. Petani, tak kira tua, muda, lelaki atau perempuan, mula melebar langkah
dalam lumpur. Tidak terkecuali ayah dan juga ibu, yang masih menyusukan adik.
Di bawah pohon pulai itulah, segala keringat mengering. Di sini asal kita. Dari
sini besarnya kita. Dari alam.
Adik
masih lagi tak tahu apa. Tidur dan merengek terus dalam buai, tergantung dahan
pulai. Dan aku, jadi penjaga. Saat kau lena, aku gembira. Saat itu aku kenal
air, tanah dan udara, penghidup kita. Anak ikan yang sering berenang melawan
arus tepian tebing yang bocor adalah pesona. Burung tak pernah sunyi berkicau
dan selut yang dingin menyaluti kaki yang tak pernah kering. Alangkah indah
alam. Tapi aku tak pernah abaikan untuk adik dalam buaian.
Satu
saat aku terkejut. Seekor ular muncul dari celahan pokok renek. Aku kaget lalu
menjerit. Berkejar ayah ke mari. "Ini tak apa. Cuma ular tak
berbisa", ayah sekadar menghalaunya. Kata ayah, semua ada penjaga.
Hidupnya bukan untuk sia-sia. Alam ini bukan sia-sia.
Saat ini
aku kembali. Pulai utuh itu telah tua, meruntuh. Dahannya tidak serimbun dulu.
Semak renek sudah habis ditebang. Ia tidak lagi jadi tempat teduhan. Yang tidak
punya kepentingan harus dihapuskan. Kata ayah, semangat padi sudah hilang.
1 comment:
aku suka yang ini. sungguh terasa kenangannya.
Post a Comment