Sunday 17 February 2013

Suatu Kenangan

Seusia semuda tiga tahun, aku sudah bersama alam. Di sana, di bawah pokok pulai tua, di tengah bendang, bersisikan pepohon renek tak terjaga. Seingat aku, di situ tempat tidur, buaian adikku, yang masih kecil, tak kenal dunia. Di tempat itu, bermulanya hidupan kita. Saat itu, musim hujan mula undur, masa untuk permulaan rezeki. Petani, tak kira tua, muda, lelaki atau perempuan, mula melebar langkah dalam lumpur. Tidak terkecuali ayah dan juga ibu, yang masih menyusukan adik. Di bawah pohon pulai itulah, segala keringat mengering. Di sini asal kita. Dari sini besarnya kita. Dari alam.

Adik masih lagi tak tahu apa. Tidur dan merengek terus dalam buai, tergantung dahan pulai. Dan aku, jadi penjaga. Saat kau lena, aku gembira. Saat itu aku kenal air, tanah dan udara, penghidup kita. Anak ikan yang sering berenang melawan arus tepian tebing yang bocor adalah pesona. Burung tak pernah sunyi berkicau dan selut yang dingin menyaluti kaki yang tak pernah kering. Alangkah indah alam. Tapi aku tak pernah abaikan untuk adik dalam buaian.

Satu saat aku terkejut. Seekor ular muncul dari celahan pokok renek. Aku kaget lalu menjerit. Berkejar ayah ke mari. "Ini tak apa. Cuma ular tak berbisa", ayah sekadar menghalaunya. Kata ayah, semua ada penjaga. Hidupnya bukan untuk sia-sia. Alam ini bukan sia-sia.

Saat ini aku kembali. Pulai utuh itu telah tua, meruntuh. Dahannya tidak serimbun dulu. Semak renek sudah habis ditebang. Ia tidak lagi jadi tempat teduhan. Yang tidak punya kepentingan harus dihapuskan. Kata ayah, semangat padi sudah hilang.

1 comment:

hanaahmad said...

aku suka yang ini. sungguh terasa kenangannya.